Jakarta – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata menyebut penyuap mantan Bupati Tanah Bumbu Mardani H Maming dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait izin usaha pertambangan telah meninggal dunia.
“Dalam paparan ekspose itu ternyata pemberinya, Hendry Sutiyo (pengendali PT Prolindo Cipta Nusantara atau PCN) itu sudah meninggal, jadi pemberinya sudah meninggal,” ujar Alex di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Kamis, 28 Juli 2022.
Alex mengatakan, meski pemberinya sudah meninggal, KPK yakin tetap mampu mengusut tuntas perkara tersebut. Alex menyatakan, tim penyidik KPK sudah mengantongi bukti dugaan perbuatan pidana Maming.
“Dan perkara ini sebetulnya ada irisan dengan perkara yang ditangani oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) menyangkut kepala dinas pertambangan dan energi,” kata Alex.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menahan mantan Bupati Tanah Bumbu, Mardani Maming setelah diperiksa sebagai tersangka kasus dugaan suap pemberian izin usaha pertambangan.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menjelaskan, bagaimana Mardani Maming ditetapkan sebagai tersangka dan uang miliaran rupiah yang diduga masuk ke kantongnya. Mardani Maming diduga mengantongi uang Rp 104,3 miliar dari kasus tersebut.
“Uang diduga diterima dalam bentuk tunai maupun transfer rekening dengan jumlah sekitar Rp 104,3 miliar dalam kurun waktu 2014 sampai dengan 2020,” kata Alex saat jumpa pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (28/7/2022) malam.
Alex menjelaskan, kasus ini berawal dari pemberian izin usaha pertambangan operasional produksi (IUP OP) kepada pihak swasta yaitu PT PCN (Prolindo Cipta Nusantara), saat Mardani Maming menjabat sebagai Bupati Tanah Bumbu pada 2010. Padahal, IUP OP yang berlokasi di Kecamatan Angsana, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan ini adalah milik PT BKPL.
“Henry Soetio selaku pengendali PT PCN bermaksud untuk memperoleh IUP OP milik PT BKPL,” kata Alex.
Konstruksi Kasus Suap Mardani Maming
Alex menyebut, demi memperoleh IUP OP milik PT BKPL, Henry diduga mendekati dan meminta bantuan Mardani. Lalu pada tahun 2011, Mardani diduga mempertemukan Henry Soetio dengan Raden Dwidjono Putrohadi Sutopo yang kala itu menjabat Kepala Dinas Pertambangan dan Energi di Tanah Bumbu.
“MM (Mardani Maming) diduga memerintahkan Raden Dwidjono Putrohadi Sutopo agar membantu dan memperlancar pengajuan IUP OP dari Henry Soetio,” urai Alex.
Alex melanjutkan, surat keputusan yang diharapkan Henry akhirnya terbit pada Juni 2012. Melalui surat itu, PT PCN memiliki izin usaha pertambangan di tempat yang sebelumnya milik PT BKPL.
Namun surat validasi yang ditandatangani Mardani diduga menabrak sejumlah aturan administrasi dokumen yang sengaja di-backdate (dibuat tanggal mundur) dan tanpa bubuhan paraf dari beberapa pejabat yang berwenang.
“Peralihan IUP OP dari PT BKPL ke PT PCN diduga melanggar ketentuan Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Dalam aturan tersebut, pemegang IUP dan IUPK tidak boleh memindahkan IUP dan IUPK-nya kepada pihak lain,” kata Alex.
Merambah ke Pelabuhan
Alex menambahkan, kongkalikong Mardani dan Henry merambah ke ranah pelabuhan di Tanah Bumbu. Mardani diduga meminta Henry mengajukan pengurusan perizinan pengelolaan oprasional pelabuhan.
Pengelolaan pelabuhan diduga akan dimonopoli oleh perusahaan fiktif PT Angsana Terminal Utama (ATU) milik Mardani yang dikelola oleh keluarganya, mulai dari pemegang saham dan susunan direksinya.
“Diduga PT ATU dan beberapa perusahaan yang melakukan aktivitas pertambangan adalah perusahaan fiktif yang sengaja dibentuk MM (Mardani Maming) untuk mengolah dan melakukan usaha pertambangan hingga pelabuhan di Kabupaten Tanah Bumbu,” beber Alex.
PT ATU pada 2012 memulai oprasionalnya di pelabuhan. Sumber dananya diperoleh dari Henry yang seolah melakukan perjanjian kerja sama bisnis.
“Aktivitasnya dibungkus dalam formalisme perjanjian kerja sama underlying guna memayungi adanya dugaan aliran uang dari PT PCN melalui beberapa perusahaan yang terafiliasi dengan MM (Mardani Maming),” katanya.
“Uang diduga diterima dalam bentuk tunai maupun transfer rekening dengan jumlah sekitar Rp 104,3 miliar dalam kurun waktu 2014 sampai dengan 2020,” ucap Alex menutup.
Leave a Reply